Newsletter

Suka Dengan artikel Di blog Ini, Masukkan alamat Email Anda Di Bawah Ini Untuk berlangganan artikel Blog Ini GRATISS...!!

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Followers

Popular posts

Banner Musuh

Photobucket
(SYMOI) gubuk blekenyek cooltext433177153
http://borneoblogger.com/
logo Paddi Blog

Your Banner Here. .!!
Fatkhan On Sabtu, 20 Februari 2010

Wah, ni postingan agak panjang(ga kalah ma novel), jadi bacanya harus dalam keadaan belum ngantuk. :-)
langsung aja cek ke TKP buat baca artikelnya......

Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.

Contoh permasalahan yang berhubungan dengan hilangnya ruang dan waktu antara lain: Seorang penjahat komputer (cracker) yang berkebangsaan Indonesia, berada di Australia, mengobrak-abrik server di Amerika, yang ditempati (hosting) sebuah perusahaan Inggris. Hukum mana yang akan dipakai untuk mengadili kejahatan cracker tersebut? Contoh kasus yang mungkin berhubungan adalah adanya hacker Indonesia yang tertangkap di Singapura karena melakukan cracking terhadap sebuah server perusahaan di Singapura. Dia diadili dengan hukum Singapura karena kebetulan semuanya berada di Singapura.

Nama domain (.com, .net, .org, .id, .sg, dan seterusnya) pada mulanya tidak memiliki nilai apa-apa. Akan tetapi pada perkembangan Internet, nama domain adalah identitas dari perusahaan. Bahkan karena dominannya perusahaan Internet yang menggunakan domain “.com” sehingga perusahaan-perusahaan tersebut sering disebut perusahaan “dotcom”. Pemilihan nama domain sering berbernturan dengan trademark, nama orang terkenal, dan seterusnya. Contoh kasus adalah pendaftaran domain JuliaRoberts.com oleh orang yagn bukan Julia Roberts. (Akhirnya pengadilan memutuskan Julia Roberts yang betulan yang menang.) Adanya perdagangan global, WTO, WIPO, dan lain lain membuat permasalahan menjadi semakin keruh. Trademark menjadi global.

Pajak (tax) juga merupakan salah satu masalah yang cukup pelik. Dalam transaksi yang dilakukan oleh multi nasional, pajak mana yang akan digunakan? Seperti contoh di atas, server berada di Amerika, dimiliki oleh orang Belanda, dan pembeli dari Rusia. Bagaimana dengan pajaknya? Apakah perlu dipajak? Ada usulan dari pemerintah Amerika Serikat dimana pajak untuk produk yang dikirimkan (delivery) melalui saluran Internet tidak perlu dikenakan pajak. Produk-produk ini biasanya dikenal dengan istilah “digitalized products”, yaitu produk yang dapat di-digital-kan, seperti musik, film, software, dan buku. Barang yang secara fisik dikirimkan secara konvensional dan melalui pabean, diusulkan tetap dikenakan pajak.

Bagaimana status hukum dari uang digital seperti cybercash? Siapa yang boleh menerbitkan uang digital ini?

Perkembangan teknologi komunikasi dan komputer sudah demikian pesatnya sehingga mengubah pola dan dasar bisnis. Untuk itu cyberlaw ini sebaiknya dibahas oleh orang-orang dari berbagai latar belakang (akademisi, pakar TekInfo, teknis, hukum, bisinis, dan pemerintah).

Salah satunya adalah mengenai nama domain yang sama, dimana hal ini sangat merugikan banyak pihak terutama Pihak yang mempunyai Domain yang asli. Banyak dontoh domain yang telah diasamarkan, diantaranya Mustika ratu, gusdur.Com, Klikbca.com, kafedomain.com dan lain sebagainya.

Tetapi banyak kasus yang telah diselesaikan dan diputuskan oleh Mahkamah Agung, Contoh kasusnya adalah Seperti dikutip pada majalah TEMPO. Mahkamah Agung menghukum 4 bulan penjara terdakwa Chandra Sugiono – pembeli domain yang merugikan pihak Mustika Ratu. Putusan MA ini adalah vonis kasasi pertama kalinya dalam sejarah delik internet di Indonesia. majelis hakim yang dipimpin oleh hakim agung Suharto dedngan anggota Abdul Kadir Mappong dan Usman Karim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana persaingan curang. Hal ini dikarenakan pada tahun 2000 Chandra mendaftarkan nama domain mustika-ratu.com tanpa izin dari perusahaan jamu dan kosmetik tradisional Mustika Ratu. Pada waktu itu Chandra adalah direktur Teknologi Informasi, PT Djago Emas, sekaligus manajer pemasaran di PT. Martina Berto, perusahaan pesaing Mustika Ratu. Menurut majelis, perbuatan terdakwa telah merugikan Mustika Ratu karena berkurangnya transaksi dengan mitra di luar negeri. Dia juga dinilai tidak punya itikad baik, karena tidak menawarkan nama domain itu kepada mustika ratu. Berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri sebelumnya yang telah memenangkan Chandra dengan alasan dakwaan jaksa tidak terbukti. Sehingga dinilai belum menikmati hasil keuntungan dari pembelian nama domain tersebut, sehingga belum menimbulkan kerugian di pihak lain. Karena itu terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan. Disisi kalangan ahli internet mengenai pembelian nama domain tersebut berlaku “Siapa cepat, Dia Dapat”. Siapapun boleh mendaftarkan seuah nama domain sesuai dengan kehendaknya. Namun karena pada perkembangannya timbul sengketa maka dibentuklah ICANN, Komisi internasional yang mengatur kebijakan nama domain . Komisi ini mempunyai mekanisme dan cara penyelesaian sengketa, mekanisme ini dikenal dengan nama Uniform Domain Name Dispute-Resolution Policy (UDRP) yang sudah diberlakukan mulai tanggal 24 oktober 1999. Menurut Budi Rahardjo, admin IDNIC (domain indonesia), putusan tersebut adalah berat.Kasus sengketa tersebut seharusnya bisa diselesaikan melalui musyawarah atau gugatan perdata, toh ada mekanisme UDRP tersebut.

Dengan semakin kompleksnya masalah bisnis, kemungkinan terjadinya sengketa / kesalahpahaman juga semakin besar. Untuk mengatasi sengketa/kesalahpahaman biasanya, setelah gagal melakukan negosiasi, maka para pihak akan menempuh jalur pengadilan. Dengan berjalannya waktu, banyak kritik terhadap proses pengadilan: waktu yang lama (bisa mengambang saja), biaya yang besar, hakim yang berlatarbelakang general, dan eksekusi yang terkadang tidak dapat dilakukan. Muncul perkembangan baru yaitu arbitrase, di Indonesia: BANI. Proses ini mempunyai kelebihan, waktu bisa lebih singkat karena tidak ada proses banding (sudah final), biaya bisa lebih rendah, arbiter (hakimnya) dapat dipilih biasanya yang dianggap punya pengetahuan atau latar belakang pada kasus yang disengketakan, prosesnya tertutup (dapat dirahasiakan; bandingkan dengan di PN yang cepat tercium pers). Kelebihan yang terakhir ini sangat cocok bagi kalangan bisnis dimana sengketa yang dialaminya sedapat mungkin infonya tidak tersebar. Perkembangan selanjutnya, adalah proses mediasi. Dalam proses ini, kekhawatiran para pihak mendapatkan hasil/keputusan yang tidak diinginkan dapat dikesampingkan. Dalam mediasi, keputusan dibuat oleh para pihak itu sendiri, sedangkan pada dua proses sebelumnya dilakukan oleh hakim dan arbiter. Mediasi juga dapat menjaga kerahasiaan proses, biaya dan waktu yang lebih efisien. Karena keputusan dibuat oleh para pihak sendiri, dengan bantuan Mediator untuk bernegosiasi kembali, biasanya kesepakatan tersebut juga lebih tahan lama.

Saat ini, dalam proses beracara di Pengadilan Negeri, proses mediasi merupakan menu pembuka wajib bagi seluruh kasus perdata sejak September ’03 (court annexed mediation). Mediasi dapat dilakukan juga sebelum kasusnya didaftarkan sebagai gugatan ke pengadilan (out of court mediation). Pusat Mediasi Nasional melayani keduanya. [www.pmn.or.id].

Untuk menghindari kesamaan dalam membuat nama Domain, Ini kutipan peraturan pendaftaran domain .web.id, paling bebas, karena yang mendaftarkan boleh siapa saja selama warga negara indonesia dan hanya butuh no KTP.

# Kriteria pemilihan nama domain

* Pilih nama domain yang singkat dan jelas.

* Ada kaitan jelas antara nama domain dengan keterangan yang tercantum pada formulir pendaftaran.

* Tidak menggunakan nama yang menunjukkan nama geografis.

* Tidak melanggar HaKI.

* Tidak menggunakan kata-kata yang menimbulkan dampak SARA.

* Tidak menggunakan kata-kata yang melanggar norma-norma dan kaidah hukum dan agama yang berlaku di Indonesia.

* Nama domain terdiri dari Alphabet “A-Z”,”a-z”, angka “0-9?, dan karakter “-”. (RFC819)

* Nama domain selalu diawali dengan alphabet. (RFC819)

* Nama domain minimum dua karakter

* Direkomendasikan panjang nama domain tidak lebih dari 26 karakter.

Sehubungan dengan sedang semaraknya permasalahan mengenai tindakan penggunaan Domain Name yang berlawanan dengan hukum akhir-akhir ini, maka tampaknya perlu diluruskan kembali pemahaman masyarakat mengenai aspek-aspek hukum yang berkenaan dengan keberadaan suatu domain name, yang sebenarnya secara substansiil adalah sangat berbeda dengan keberadaan suatu merek dalam lingkup perdagangan dan industri.

Sebenarnya keberadaan suatu Nama Domain (Domain Name) hanyalah keberadaan suatu alamat dalam suatu jaringan komputer global (Internet), dimana dalam jaringan komputer global tersebut tidak ada suatu otoritas pusat ataupun kewenangan yang tersentral yang berfungsi sebagaimana layaknya suatu pemerintahan. Ia dibangun adalah berdasarkan atas kaedah ataupun asas kebebasan berinformasi (freedom of information) dan asas kebebasan berkomunikasi (free flow of information) dari para pihak yang menggunakannya, sehingga keberadaannya semula adalah medium komunikasi global (network of networks) dari semua pihak. Namun dalam perkembangannya, terjadi juga perubahan social behaviour dari masyarakat penggunanya yang semula hanya untuk saling tukar menukar informasi saja kini meningkat kepercayaannya menjadi sarana komunikasi yang intensitasnya ditujukan untuk transaksi perdagangan. Oleh karenanya semakin meningkatlah arti dan peranan dari jaringan tersebut, yang tidak hanya menjadi suatu medium komunikasi melainkan juga menjadi suatu medium untuk transaksi dalam perdagangan.

Selanjutnya dengan semakin semaraknya komersialisasi di Internet, maka kini semakin bernilailah keberadaan Domain Name tersebut dikalangan masyarakat, terlebih lagi karena keberadaan domain name yang intuitif dengan nama si penggunanya ternyata dapat bernilai komersial. Bahkan cenderung keberadaannya sekarang disadari sebagai suatu intangible asset sebagaimana layaknya Intellectual Property. Apakah pernyataan tersebut benar atau tidak, mungkin hanya dapat terjawab jika kita melakukan kajian secara mendalam kepada kaedah-kaedah hukum yang mendasarinya sebagaimana dipaparkan dalam tulisan ini.

Struktur dan Delegasi Pemberian Nama Domain

Sementara itu kaedah dalam sistem pemberian nama domain (Internet domain name system structure and delegation) telah dinyatakan dalam Request For Comment (“RFC”) nomor 1591, yang terdiri atas IP Address (contoh: 200.98.102.23) dan Alphanumeric Addresses (Domain Name). Adapun jenis Nama Domain yang diselenggarakan pada hakekatnya adalah bersifat terbuka dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada. Secara garis besar dibedakan dalam dua klasifikasi yakni: (a) generic Top Level Domain (gTLD’s), yang dibedakan atas dua jenis lagi yakni yang bersifat open (contoh: .com, .org, .net), dan ada yang bersifat restricted: (contoh; .edu, .gov, .mil) , dan (b) Country Code Top Level Domain (ccTLD’s), seperti contohnya adalah: .id (baca: dot id) untuk negara Indonesia; .fr (baca: dot fr) untuk perancis, .jp (baca: dot jp) untuk Jepang, .uk (baca: dot uk) untuk Inggris dan lain sebagainya. Pada hakekatnya dapat dikatakan jenis kedua ini adalah bersifat restricted karena berfungsi sebagaimana layaknya indikasi geografis dari suatu domain (indications to the country).

Dalam lingkup perolehan Nama Domain ini, para pihak yang meminta nama domain tersebut (“Registrant”) dinyatakan bahwa secara pribadi bertanggung jawab dan menjamin bahwa pengajuan permintaan pendaftaran Nama Domain yang dilakukannya adalah didasari dengan iktikad baik dan tidak akan merugikan kepentingan pihak-pihak lain yang secara hukum berkepentingan atas keberadaan Nama Domain yang dipintakannya tersebut. Oleh karena itu, asas yang mendasarinya adalah “First Come First Served”.

Perlu dipahami bahwa kaedah hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat informasi yang jelas telah berpendidikan tinggi dan beretika dengan baik, maka tentunya amanat “untuk beriktikad baik” dibebankan kepada si anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu terhadap para registrant diberikan pernyataan untuk menjamin dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri terhadap sengketa yang berkenaan dengan nama domain tersebut, dan tentunya pihak Registrar tidak akan bertanggung jawab sama sekali terhadap tuntutan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perolehan nama domain tersebut.

Jika dikaji lebih lanjut, yakni dengan diawali oleh keberadaan RFC 1591 ditambah dengan ketentuan-ketentuan mengenai perolehan Domain Name yang secara jelas telah dicantumkan dalam policy yang digariskan oleh IANA (Internet Assigned Number and Adresses) sekarang dikelola ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers), maka dapat dikatakan bahwa telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada semua masyarakat pengguna internet.

Terhadap para pihak yang diberikan amanat/kewenangan tugas untuk mengelola pendaftaran Nama Domain tersebut (“Registrar”), telah jelas dinyatakan bahwa “Concerns about ‘rights’ and ‘ownership’ of domains are inappropriate. It is appropriate to be concerned about ‘responsibilities’ and ’service’ to the community”. Selain itu juga ditandaskan dari awalnya bahwa Registrar tidak akan bertanggung jawab terhadap segala implikasi hukum yang berkenaan dengan Nama Domain tersebut, kecuali yang diakibatkan karena kelalaiannya dalam mengemban amanat tersebut.

Dalam melakukan tugasnya, pihak Registrars diamanatkan harus mentaati rule-rule yang diberikan, yakni antara lain berkewajiban mengidentifikasi kejelasan status subyek hukum dari si Registrant. Dalam hal ini terwujud dengan kejelasan status subyek hukum si orang tersebut berikut alamat e-mail-nya yang tercantum pada NIC handle-nya (Administration-Contact, Technical-Contact dan Billing Contact). Hal ini tentunya sangat mudah dipahami, karena tidak akan mungkin ada suatu perbuatan hukum yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya sekiranya tidak jelas siapa orang ataupun subyek hukumnya. Kelalaian terhadap hal ini akan berakibat ditariknya amanat tersebut dan dapat dialihkan kepada pihak Registrar yang lain yang mampu mengemban amanat tersebut.

Konflik Kepentingan atas Nama Domain

Sehubungan dengan itu, mengingat keberadaan Domain Name secara teknis haruslah unique maka dalam prakteknya ternyata banyak pihak yang memperebutkan keberadaan nama domain yang lebih intuitif dengan nama si penggunanya tersebut. Sementara itu, tidak semua pihak dengan sigap dan cepat menyadari dan menanggapi kemajuan teknologi tersebut dengan cara meningkatkan keberadaannya dalam Internet, sehingga sebagian orang mendahului mendaftarkan nama-nama yang diketahuinya telah popular dan menjualnya kembali kepada pihak yang berkepentingan atas nama tersebut dengan harga diatas harga perolehannya, dengan kata lain hal ini adalah tindakan penyerobotan atas domain name (cybersquatting).

Selain itu, bahkan ada pihak-pihak tertentu yang juga secara tidak etis ingin mengambil keuntungan terhadap Domain Name tsb dengan cara memanfaatkan reputasi atas nama-nama yang sudah popular (well known) atau telah bernilai komersial sebelumnya sebagai Domain Name untuk alamat bagi situs (web-sites) yang dikelolanya. Dengan kata lain ia mencoba mencuri pasar yang dimiliki oleh orang lain ataupun membonceng reputasi dari keberadaan nama pihak lain tersebut (predatory action), atau paling tidak nama yang hampir sama dengan nama yg sudah terkenal tersebut (dilution action). Sebagai contoh adalah penggunaan nama domain yang tidak jauh berbeda dengan nama pihak lain, misalkan situs cocacola.com dimiliki oleh perusahaan permen yang mempunyai rasa cola yang hampir sama dengan rasa dari soft-drink cocacola tersebut. Ataupun ada pihak ingin yang menggunakan nama dengan jenis ketikan yang tidak jauh berbeda misalkan www.coca-cola.com atau www.coci-cola.com. Hal ini lebih dikenal dengan istilah typosquatting.

Hal lain yang hampir serupa dilakukan oleh para pihak yang saling berkompetisi, adalah dengan melakukan penahanan Nama Domain pihak kompetitornya yakni dengan tujuan menghambat pihak kompetitor tersebut agar tidak dapat menggunakan nama yang lebih intuitif dengan dirinya. Hal ini jelas akan mengurangi popularitasnya di Internet akibat nama domain tersebut tidak sesuai dengan nama perusahaannya atau nama produknya, paling tidak walaupun ia dapat menggunakan nama domain lain, kompetitor tersebut tidak akan sepopuler jika ia menggunakan nama yang dikenal umum oleh masyarakat. Jadi ringkasnya nuansa pemikirannya, hanyalah untuk menghambat keleluasaan pihak kompetitor dalam jalan raya informasi Internet.

Dengan melihat uraian tersebut diatas, sepatutnya dalam hal ini yang menjadi focus permasalahan adalah iktikad tidak baik (bad faith) dari si Registrant dalam memperoleh Domain Name itu sendiri ataupun penggunaan Domain Name yang dilakukan secara tidak patut (improperly used), bukan kepada keberadaan Domain Name yang dianggap berfungsi sebagaimana layaknya merek dalam lingkup perdagangan dan Industri. Kedua pernyataan tersebut jelas harus dibedakan karena penekanan dan pokok permasalahannya sangatlah berbeda konstruksi hukumnya ataupun nuansa hukum yang mendasarinya (legal sense).

Nama domain

Merek

• Eksistensinya adalah sebagai alamat dan nama dalam sistem jaringan komputerisasi dan telekomunikasi.

• Lebih bersifat sebagai amanat yang diberikan oleh masyarakat hukum pengguna Internet, ketimbang sebagai suatu property.

• Lebih bersifat sebagai amanat yang diberikan oleh masyarakat hukum pengguna Internet, ketimbang sebagai suatu property.

• Lebih bersifat sebagai property karena merupakan kreasi intelektual manusia yang dimintakan haknya kpd negara utk kepentingan industri & perdagangan.

• Asasnya adalah berlaku universal yakni “First Come First Served Basis”

• Asasnya ada yang menganut “First to Filed” dan ada yang menganut “First to Used”.

• Tidak ada pemeriksaan substantive

• Harus ada pemeriksaan substantive

• Sepanjang tidak dapat dibuktikan beriktikad tidak baik, maka perolehan Nama Domain bukanlah tindak pidana.

• Sepanjang tidak diberikan lisensi oleh yang berhak, maka penggunaan merek adalah pelanggaran

Jadi seharusnya dalam hal ini pendekatannya adalah sangat kasuistis, sehingga jika seseorang ingin mengajukan Nama Domain ia cukup melaksanakan kewajiban formilnya saja. Kewajiban substansiil yang harus dilakukannya hanyalah terbatas kepada kejelasan status subyek hukumnya (legal identity) saja, bukan kepada pemeriksaan berhak atau tidaknya orang tersebut atas Nama Domain yang dipintakannya.

Oleh karena itu, pihak Registrar sebenarnya tidak dapat mempersyaratkan bahwa si Registrant harus melakukan prosesuil yang bersifat substansiil sebagaimana layaknya pemeriksaan merek atau mencoba menarik koneksi pemeriksaannya ke dalam database merek ataupun sebaliknya. Hal tersebut adalah bersifat terlalu berlebihan, sekiranya kita tidak dapat mengatakannya sebagai salah kaprah ataupun over-rule. Sekiranya hal tersebut akan terus dilakukan maka para Registrant akan pergi ke Registrar lain, jika ia ccTLD’s maka dapat dibayangkan warga negara kita lebih menyukai server luar negeri dibandingkan server dalam negeri. Selain itu, maka si Registrar secara hukum akan dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kelalaiannya jika ada keberadaan domain name yang bertentangan dengan Merek. Hal ini tentunya harus diperhitungkan untung dan ruginya oleh si Registrar tersebut.

Selain semua penyalahgunaan tersebut di atas, sebenarnya masih ada suatu tindakan yang lebih tidak etis lagi yakni perampasan nama domain (Domain Hijacking) yang telah dimiliki oleh orang lain. Modus operandinya adalah dengan cara menipu pihak Registrar yang seolah-olah si perampas bertindak sebagai si Registrant dan kemudian ia merubah status penguasaan atas domain (NIC Handle). Dengan berubahnya NIC Handle tersebut maka berubahlah status kepemilikan atas domain name tersebut. Sekarang ini, hal ini akan menjadi semakin sulit untuk dilacak akibat begitu banyaknya Registrar dewasa ini. Dapat dibayangkan bagaimana rumitnya jika domain tersebut dirampas/dibajak dan dialih-alihkan dari satu Registrar ke Registrar lainnya. Menurut saya tindakan ini sepatutnya dapat dikategorikan sebagai tindakan kejahatan terhadap keberadaan Nama Domain pihak lain. Kasus ini sebenarnya pernah semarak di Indonesia beberapa bulan lalu, namun tidak terekspos ke permukaan karena para pihak merasa lebih baik meredamnya agar keberadaan situsnya tetap dapat dipercaya oleh publik.

Pembuktian Iktikad Tidak Baik Atas Nama Domain

Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan yang dicantumkan dalam Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (“UDRP”), jelas dinyatakan bahwa si Registrant dianggap telah terbukti beriktikad tidak baik jika ada pihak yang meng-complain keberadaan Nama Domain tersebut (“Complainant”) dan ternyata ditemukan indikasi-indikasi sebagai berikut:

• bahwa si registrant mengalihkan (menjual atau menyewakan) Nama Domain yang dikuasainya kepada pihak lain diatas biaya perolehan yang sebenarnya;

• Bahwa si registrant ternyata bertujuan untuk menghalangi atau menghambat kompetitornya dalam menggunakan nama yang lebih intuitif;

• Bahwa si registrant bertujuan untuk menyerap bisnis kompetitornya;

• Bahwa si registrant bertujuan untuk mendompleng reputasi pihak lain, lewat keserupaan nama ataupun kesan yang ditimbulkan dengan pihak lain (creating likelihood of confusion).

Sementara itu disisi lain, terhadap registrant yang memperoleh complain tersebut dalam waktu tertentu diberikan waktu dan hak untuk menjawab guna menerangkan bahwa penguasaannya atas suatu nama domain adalah mempunyai alas hak atau dengan berdasarkan suatu kepentingan hukum yang sah (legitimate interest). Hal ini dapat dilakukannya dengan cara menerangkan bahwa:

• Keberadaan nama domain tersebut adalah sebangun ataupun sesuai dengan kepentingan bisnis yang dibangunnya selama ini;

• Keberadaan bisnis si Registrant telah umum dikenal dengan Nama Domain tersebut terlepas dari apakah ia telah mendaftarkan sebagai merek ataupun belum;

• Si Registrant mengunakan Nama Domain tersebut tidak untuk tujuan yang bersifat komersial (fair use) dengan tanpa intensitas untuk membingungkan ataupun mengelabui pihak lain atas keberadaan suatu merek ataupun nama yang telah terkenal di masyarakat.

Mekanisme Penyelesaian Masalah Nama Domain

Ketika dulu registrar masih hanya dipegang oleh NSI (Network Solutions Inc.), kebijakan yang diambilnya dalam sengketa domain yang berkenaan dengan merek telah banyak diprotes oleh masyarakat pengguna Internet, karena hanya berpihak dari sisi kepentingan pemegang nama ataupun merek tersebut. Hal ini dilakukannya dengan cara meng-hold Domain Name yang dikomplain oleh si Pemegang Merek tersebut, tanpa jelas terbukti bahwa orang tersebut telah beriktikad tidak baik. Padahal semestinya, Registrar tidak diperkenankan untuk melakukan suatu tindakan apapun terhadap Nama Domain yang telah dikuasai oleh Registrant, kecuali kepentingan sistem hukum menghendakinya.

Selanjutnya, dengan kehadiran ICANN maka jumlah registrar semakin majemuk dalam artian pengurusan perolehan Top Level Domain tidak lagi hanya dipegang oleh NSI saja melainkan dapat dikelola oleh pihak lain yang telah memenuhi kwalifikasi yang dipersyaratkan dan di-approved oleh ICANN sebagai registrar.

Mekanisme penyelesaian sengketa atas Nama Domain yang digariskan oleh ICANN pada hakekatnya adalah dikembalikan kepada para pihak itu sendiri, untuk menempuh alternatif penyelesaian sengketa yang dipilih, yakni dapat diselesaikan dengan musyawarah untuk mufakat (resolved by the parties themselves), mekanisme peradilan umum (the courts) atau Arbitrasi yang di-approved oleh ICANN’s (approved dispute resolution provider) atau lembaga-lembaga pengambil keputusan keadilan lain yang dikenal secara hukum.

Sehubungan dengan itu, berbicara tentang sengketa biasanya para pihak seringkali akan mempermasalahkan mengenai yurisdiksi hukum mana yang akan berlaku untuk para pihak yang bersengketa. Sebenarnya permasalahan ini baru sangat relevan jika para pihak yang bersengketa adalah berbeda warga negara, namun sekiranya para pihak adalah sama kewarganegaraannya, maka sepatutnya para pihak jangan coba melarikan diri dengan cara mempermasalahan locus delicti dan tempus delicti-nya. Hal ini adalah karena ditengah keberadaan sistem internet yang bersifat ubiquotus tentunya yang sepatutnya dibicarakan bukanlah dimana lokasi terjadinya tindak pidana, melainkan kepentingan hukum bangsa mana yang terlanggar. Oleh karena itu sepatutnya pemerintah mampu mengupayakan penarikan pihak lain kedalam sisstem hukum kita sekiranya ia melanggar kepentingan hukum bangsa kita.

Berkenaan dengan yurisdiksi, maka UDRP menyatakan bahwa Complainant dapat mengajukan keberatannya di wilayah hukum dimana registrar berada, atau dimana admin contact dari Nama Domain itu berada, atau diajukan kepada arbitrase yang sesuai dengan lokasi registrar tersebut berada.

Strategi dan Tindakan Preventif

Untuk menghadapi iktikad tidak baik tersebut, untuk sementara ini dan yang umumnya telah dilakukan oleh para pengguna Internet adalah melakukan tindakan prophylactic measures yakni dengan mendaftarkan keberadaan nama perusahaanya ataupun merek dagangnya kedalam semua jenis nama domain yang tersedia. Sayangnya hal ini jelas mengakibatkan pengeluaran yang cukup besar untuk biaya administrasi pendaftaran Nama Domain tersebut.

Selain itu, sebenarnya pemegang merek dapat juga menggunakan mekanisme invoke policy yang disediakan dalam UDRP, tentunya dengan memahami semua rule yang disediakannya, sebagaimana telah dijelaskan pada uraian-uraian diatas.

Sebagai suatu perbandingan, dalam sistem hukum di Amerika Serikat terhadap perkara yang berkenaan dengan typosquatting, maka pemegang merek dapat menggunakan ketentuan Federal Trademark Dilution Act 15 USC art. 1125 (c) karena pemegang merek tidak direpotkan dengan pembuktian sejauh mana dilusi merek itu terjadi. Ia hanya cukup menjelaskan bahwa reputasinya telah terkenal, dan pihak lawan tersebut telah membuat kebingungan di masyarakat akibat kesamaan yang dilakukannya. Dalam hal ini, pihak lawanlah yang dibebankan untuk melakukan pembuktian di pengadilan bahwa ia tidak melakukan tindakan dilusi tersebut.

Sementara itu, untuk menghadapi tindakan cybersquatting di Internet maka Pemerintah AS memandang perlu untuk mengeluarkan ketentuan yang khusus mengatur tentang itu, yakni Anti-Cybersquatting Act yang melindungi kepentingan para pemegang merek atas individu yang beriktikad tidak baik dalam memperoleh domain name tersebut, karena tidak dapat diakomodir oleh Federal Trademark Dilution Act tersebut akibat ruang lingkupnya yang lebih luas.

Sistem Hukum Nasional dan Keberadaan Internet terhadap Nama Domain

Berkaitan dengan kasus sengketa Nama Domain sudah mulai merebak di Indonesia, maka berdasarkan kepada uraian tersebut di atas, telah terlihat jelas bahwa perangkat perundang-undangan yang dapat digunakan adalah:

• pasal 72 dan 82 Undang-undang No.14 Tahun 1997 tentang Merek, untuk kasus typosquatting;

• untuk kasus-kasus cybersquatting dan domain hijacking dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Pidana Umum, seperti misalnya pasal 382 bis KUHP tentang Persaingan Curang, pasal 493 KUHP tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang atau Barang dan Kesehatan Umum, pasal 362 KUHP tentang Pencurian, dan pasal 378 KUHP tentang Penipuan; dan

• pasal 22 dan 60 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk tindakan domain hijacking.

Terlepas setelah kita melihat klausul mana yang dapat bekerja, maka sebaiknya kita amati dulu keberadaan sistem hukum nasional kita. Hal ini adalah mengingat bahwa keberadaan sistem hukum di Amerika yang beraliran Anglosaxon tidak dapat dipersamakan dengan keberadaan hukum kita yang beraliran Eropa Continental.

Sekilas memang tampaknya, sistem hukum yang mereka anut mampu menjawab semua permasalahan hukum yang terjadi ditengah masyarakat dengan begitu dinamisnya, jurisprudensi yang berkaitan dengan itu dan produk-produk legislatif yang dikeluarkan oleh setiap negara bagian. Namun, disisi lain sebenarnya hal tersebut mengkibatkan kurang kuatnya dasar pemikiran dalam menyikapi perkembangan yang terjadi, karena sifatnya kurang begitu konservatif dan membumi filosofi hukumnya.

Sementara itu, kecenderungan sekarang ini begitu memprihatinkan karena banyak sekali para ahli ataupun para netters itu sendiri yang meyakini seolah-olah bahwa di internet masih merupakan daerah rimba belantara yang bebas hukum dan tidak ada ketentuan hukumnya sama sekali. Pemahaman seperti ini jelas keliru sama sekali dan tidak baik untuk masyarakat serta tidak mendidik untuk kepentingan bangsa yang berupaya bangkit dari keterpurukan krisis mental bangsa kita. Tambahan lagi pemahaman seperti ini adalah merupakan pencerminan dari para netters yang tidak mempelajari kaedah hukum yang berlaku dalam Internet Global Community (“Masyarakat Hukum Pengguna Internet”).

Sehubungan dengan keberadaan Internet yang secara teknis terjalin dengan keberadaan protocol TCP/IP, maka secara hukum ia merupakan perwujudan dari kaedah-kaedah hukum yang berlaku dalam berkomunikasi dan berinformasi. Hanya saja dalam lingkup permasalahan ini sebenarnya ada sedikit tarik menarik antara kepentingan masyarakat hukum pengguna internet (internet global community) dengan kepentingan hukum nasional yang melindungi kepentingan bangsanya.

Adalah suatu hal yang sangat logis sekiranya kita sebagai anggota keluarga yang baru pindah dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, maka dengan sendirinya kita harus mengikuti kaedah-kaedah hukum dalam masyarakat tersebut. Namun hal tersebut tentunya juga dengan tidak meninggalkan keberadaan karakteristik keluarga tersebut sebagai suatu sistem masyarakat tersendiri yang telah terbentuk sebelumnya.

Uniknya, jika kita masuk dalam lingkup masyarakat pengguna internet (internet global community) maka mau tidak mau secara hukum kita otomatis telah menundukan diri dengan keberlakuan kaedah hukum yang berlaku di dalamnya. Contohnya, kita harus melihat RFC 1087 mengenai etika dalam internet (Ethics in Internet), bahkan sebelumnya kita juga sepatutnya mengetahui bagaimana etika dalam berkomputerisasi yakni harus menghargai Privacy, Accuracy, Property dan Accessibility sesuai dengan asas Freedom of Information dan Free Flow of Information.

Jika kita berbicara hukum, sebenarnya kita berbicara mengenai keberadaan sistem hukum nasional yang berlaku mengikat kepada warga negaranya dan kepada warga negara lain yang melanggar keberadaan sistem hukum nasional tersebut. Jadi semestinya jangan disamakan dengan pengertian tentang regulasi. Sekilas memang tampak benar jika belum ada ketentuan hukum yang mengatur secara jelas dalam suatu UU yang khusus dikatakan belum ada hukumnya, namun dalam sistem hukum keberadaan hukum yang berlaku dimasyarakat tidak tergantung kepada materi hukum yang tertulis dalam UU, karena masih ada materi hukum yang tidak tertulis yang sebenarnya juga berlaku ditengah masyarakat, sebagai contoh adalah keberadaan sistem hukum adat dalam masyarakat kita dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut dalam praktek bisnis di negara kita.

Jika kita mengkaji lebih lanjut tentang keberadaan suatu sistem hukum nasional yang terdiri atas Substance (materi hukum), Structure (Institusi Hukum) dan Legal Culture (Kebudayaan Hukum Masyarakat). Maka, sistem hukum nasional yang baik dan progresif, semestinya tidak tergantung kepada ada atau tidaknya Undang-undang melainkan akan lebih banyak tergantung kepada kesigapan terhadap segala tindakan dan pemikiran dari aparatur dari struktur hukum yang ada untuk menyikapi semua perkembangan yang ada secara bijaksana.

Dalam lingkup Internet, maka kaedah-kaedah hukum yang terbangun didalamnya jelas berbanding lurus dengan karakteristik suatu masyarakat informasi (information society). Oleh karena itu, seharusnya bangsa kita harus kembali berintrospeksi diri apakah masyarakat kita yang termasuk dalam pengguna internet telah merupakan suatu masyrakat informasi yang mempunyai etika berkomunikasi yang tinggi, sehingga sekiranya kita dianggap tidak beretika dengan baik maka tentunya bangsa kita tidak dapat dipercaya dalam medium cyberspace tersebut. Jadi agar bangsa kita dapat eksis dan dipercaya oleh masyarakat global internet sehingga kita dapat menggunakan internet sebagai medium perdagangan global, maka tentunya harus ada kesepakatan bersama dari bangsa kita untuk sama-sama mengamankan keberadaan system dalam internet. Jika tidak, maka bangsa kita tidak usah bermimpi untuk mengambil keuntungan dalam pemanfaatan Internet sebagai medium transaksi perdagangan secara elektonik (e-commerce), apalagi untuk bernegara dan berdemokrasi (e-government dan e-democracy).


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments